Prolog :
Mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah banyak, sampai-sampai para ulama menghimpun mukjizat-mukjizat tersebut dalam kitab-kitab khusus yang mereka beri judul “Dalail An-Nubuwwah” (Bukti-bukti kenabian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Diantara mukjizat-mukjizat tersebut contohnya adalah kisah al-Israa’ wa al-Mi’rooj, keluarnya air dari jari-jari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, terdengarnya suara tasbih dari makanan, batu memberi salam kepada Nabi, terdengarnya suara rintihan batang kurma yang merindukan Nabi, pengkhabaran-pengkhabaran Nabi tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan ternyata sebagiannya telah terjadi, dan lain-lain, yang semuanya menunjukkan akan perkara-perkara yang ajaib.
Namun diantara perkara yang menarik perhatian penulis bahwasanya ternyata akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya merupakan mukjizat tersendiri. Sebagaimana mukjizat-mukjizat Nabi yang lain mendatangkan keajaiban, maka sesungguhnya akhlak Nabi –yang datang dalam sebagian hadits- juga menunjukkan keajaiban, karena sulit atau mustahil untuk bisa dilakukan oleh orang biasa.
Berikut ini penulis mencoba mengumpulkan sebagian hadits-hadits tersebut, meskipun tentunya penulis tidak mampu untuk menghimpun seluruh hadits-hadits yang menunjukkan akan hal ini –karena keterbatasan ilmu dan waktu-. Akan tetapi semoga yang sedikit ini sudah bisa memberi gambaran akan keajaiban akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pertama : Nabi tidak pernah mengomentari jelek terhadap makanan
Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata :
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطٌّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Nabi tidak pernah mencela makanan sama sekali, jika beliau menyukainya maka beliau memakannya, dan jika tidak maka beliau tinggalkan” (HR Al-Bukhari no 3563 dan Muslim no 2064)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata tentang hadits ini :
هَذَا مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ الْمُتَأَكِّدَةِ وَعَيْبُ الطَعَامِ كَقَوْلِهِ : مَالِحٌ، قَلِيْلُ الْمِلْحِ، حَامِضٌ، رَقِيْقٌ، غَلِيْظٌ، غَيْرُ نَاضِجٍ، وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Hal ini (tidak mencela makanan) termasuk adab makan yang ditekankan. Dan mencela makanan yaitu seperti ia berkata, “Ini keasinan”, “Kurang asin”, “Kecut”, “Terlalu lembut”, “Masih kasar”, “Belum masak”, dan yang semisalnya” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim)
Seorang yang sepintas membaca hadits ini dengan kurang perhatian, maka seakan-akan perkara ini merupakan perkara sepele. Namun bagi Al-Imam An-Nawawi bukanlah perkara yang sepele, bahkan beliau menegaskan bahwa tidak mencela makanan merupakan adab makan yang ditekankan.
Dan ternyata perkara ini pun tentunya tidak dianggap sepele oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian juga tidak dianggap sepele oleh para sahabat, sampai-sampai Abu Huroiroh radhiallahu anhu dalam hadits diatas berkata, “Nabi sama sekali tidak pernah mencela makanan”. Hal ini menunjukan perhatian Abu Huroiroh terhadap adab ini.
Jika kita perhatikan kondisi kaum muslimin secara umum –termasuk kondisi para pembaca yang budiman sekalian dan juga terlebih kondisi penulis sendiri- coba kita renungkan, siapa diantara kita yang tidak pernah mencela makanan?, yang tidak pernah mengatakan terhadap makanan, “Terlalu asin”, “Kemanisan”, “Keenceran”, “Terlalu garing”, “Kurang garam”, “Kurang rasa bumbunya”, dan komentar-komentar lain yang menunjukkan celaan terhadap makanan?
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari kita yang selamat dari mencela makanan, dari mengomentari makanan. Makanan istri kita komentari…?, Jangankan makanan yang kita beli mahal di restaurant yang kita komentari, bahkan makanan yang dibagi gratis pun tidak luput dari komentar kita.
Yang lebih menakjubkan lagi, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diminta untuk mengomentari makanan yang ia tidak suka dan ia tinggalkan, ternyata beliau tetap bisa menjaga komentarnya agar tidak mencela makanan.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata :
أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَنِ الضَّبِّ فَقَالَ خَالِدٌ: أَحْرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيّ
“Kholid bin Al-Walid r.a mengabarkan kepada beliau bahwasanya beliau bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Maimunah (istri Nabi) dan Maimunah adalah bibiknya Kholid dan juga bibiknya Ibnu Abbas. Maka Kholid mendapati ada dhob (semacam hewan bebentuk iguana-pen) yang dipanggang (di atas batu panas). Lalu Dhob tersebutpun dihidangkan kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Nabi pun mengangkat tangannya tidak menyentuh dhob. Maka Kholid bertanya, “Apakah dhob itu haram wahai Rasulullah?’. Nabi berkata, “Tidak, akan tetapi dhob tidak ada di kampung kaumku, maka aku mendapati diriku tidak menyukainya”. Kholid berkata, “Akupun mengambilnya lalu menyantapnya, dan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hanya memandang kepadaku” (HR Al-Bukhari no 5391)
Perhatikanlah dalam riwayat ini Kholid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu meminta komentar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sebab kenapa beliau tidak jadi makan dhob yang telah dihidangkan?
Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hampir saja memakan dhob tersebut, karena ketidak tahuan beliau bahwa yang dihidangkan adalah dhob.
فَأَهْوَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَى الضَّبِّ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ النِّسْوَةِ الْحُضُوْرِ أَخْبِرْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ، قُلْنَ هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ
“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjulurkan tangannya untuk mengambil dhob. Maka ada seorang wanita diantara para wanita yang hadir tatkala itu berkata, “Kabarkanlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apa makanan yang kalian hidangkan untuk beliau !”. Maka mereka berkata, “Itu adalah dhob wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah pun menahan tangannya (tidak jadi menyentuh dhob-pen)”. (HR Muslim no 1946)
Ternyata waktu diminta untuk berkomentar, Nabi tetap berkomentar dengan komentar yang tidak menunjukkan pencelaan terhadap dhob tersebut. Beliau berkata, “Karena dhob tidak ada di kampung kaumku, maka aku tidak menyukainya”.
Faidah-faidah hadits di atas;
Pertama :. Sisi keajaiban dari kisah di atas, yaitu Nabi sama sekali tidak pernah mencela makanan sama sekali. Yang tidak mungkin dilakukan oleh seorangpun di atas muka bumi ini. Siapakah diantara kita yang tidak pernah komentar terhadap makanan yang ia tidak sukai?. Jika salah seorang dari kita mampu untuk tidak mengomentari makanan dalam sepekan, namun apakah ia mampu tidak berkomentar selama sebulan? Apalagi seumur hidup tidak komentar !!. Pasti lisannya gatal untuk komentar, apalagi manusia hobinya adalah komentar.
Kedua : Nabi bahkan tatkala diminta untuk mengomentari makanan yang ia tidak sukai maka ia tetap berkomentar dengan komentar yang tidak menunjukkan pencelaan terhadap makanan tersebut. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
وَأَمَّا حَدِيْثُ تَرْكِ أَكْلِ الضَّبِّ فَلَيْسَ هُوَ مِنْ عَيْبِ الطَّعَامِ، إِنَّمَا هُوَ إخْبَارٌ بِأَّنَّ هَذَا الطَّعَامَ الخَّاصَ لاَ أَشْتَهِيْهِ
“Adapun hadits tentang Nabi tidak memakan dhob maka tidak termasuk dalam mencela makanan, akan tetapi hanya pengkhabaran bahwasanya makanan ini secara khusus aku tidak menyukainya” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/26)
Diantara kita tetap berkomentar mencela makanan meskipun tidak diminta untuk berkomentar, apalagi jika diminta untuk berkomentar??!. Maka sungguh menakjubkan akhlak Nabi, beliau diminta untuk berkomentar, akan tetapi tetap tidak mencela makanan.
Ketiga : Hadits ini juga menunjukkan keajaiban akhlak Nabi dari sisi-sisi yang lain, diantaranya akhlak Nabi tidak hanya berkaitan dengan sesama manusia, bahkan Nabi mengajarkan bahwa terhadap makanan -yang itu merupakan karunia dari Allah- seorang muslim pun harus berakhlak mulia.
Keempat : Diantara hikmah tidak mencela makanan adalah bisa jadi seseorang tidak suka makanan tertentu, sementara orang lain tidak demikian. Jika iapun mulai mencela makanan tersebut karena lidahnya yang tidak cocok, maka bisa jadi orang lain yang seharusnya lidahnya dan seleranya cocok akhirnya tidak jadi memakan makanan tersebut, maka akhirnya makanan tersebut terbuang sia-sia. (lihat Kasyful Musykil min Hadits As-Shahihain 3/479)
Kelima : Diantaranya hikmah tidak mencela makanan adalah bisa jadi kita tatkala mencela makanan maka akan menyakiti hati orang lain. Menyakiti hati orang yang menghidangkannya misalnya. Bayangkan jika istri kita yang menghidangkan makanan lalu kita menyatakan kepadanya “Tidak enak”, “Kurang asin”, “Kurang manis”, dll, maka tentu akan menyakiti hatinya yang telah bersusah payah menghidangkan makanan tersebut. Tapi kita bisa menggunakan bahasa yang lain, misalnya, “Masya Allah makanannya enak, tolong ambilkan garam, kalau di kasih garam tentu lebih enak lagi”. Ini sikap kita terhadap istri yang lebih bisa memahami kita.
Nah bagaimana lagi kalau kita mencela makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah?, tentu celaan tersebut akan menyakiti hati sang tuan rumah. Maka seseorang bersabar untuk menahan lisannya, jika ia tidak suka maka ia tinggalkan makanan tersebut dan memakan makanan lain yang ia sukai.
Madinah, 17-02-1437 H / 29-11-2015 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com